Rabu, 24 Agustus 2011

0

Teman Bertanduk Merah

     Di dalam diriku ada sesosok makhluk yang berdiam diri. Dia gemar meniupkan terompet besar di telingaku sampai hampir putus gendangnya. Dia juga suka melompat – lompat di dalam jantungku, sampai jantungku jadi blood shake. Dia juga gemar menggerutu di otakku, sampai aku tak mampu bermimpi indah tiap malam karena otakku ricuh denga gerutuannya. Selalu begitu.

                                                                 ***


Dia yang kupangil Si tanduk merah. Matanya yang bulat merekah. Tubuhnya yang besar gagah. Lalu jubahnya yang putih. Dan tak lupa tanduknya yang kokoh berwarna merah membara. Semua itu memberikan pesona tersendiri di hatiku. 

Dia ada dalam aku, agar aku jadi dia. Hal itu kusadari ketika suatu hari aku sedang murung dan memintanya meninggalkanku. Tapi, tentu saja dia menolak.

“Kamu bisa ninggalin aku gak?, Pusing tau hari ini!” Bentakku.
“Semudah itu mengusirku?, tidak mau!”



Aku benar – benar marah hari itu. Tapi dia lebih marah lagi. Dia merayap di dinding kamarku, lalu menyemburkan api. Panasnya bukan main sampai membakar hati. Aku tak berdaya untuk melawan walau hanya satu kata. Mungkin, “Cukup!”, atau “Berhenti!”, atau juga “Enyahlah!”. Tapi tak ada yang keluar satu pun dari mereka. Apalagi saat Si tanduk merah itu mengibarkan jubah putihnya yang mulai jadi abu – abu. Asap besar mengepul di sekujur tubuhnya. Dari mulutnya masih terlihat percikan api – api ganas tadi. Kepalanya merunduk, dan matanya melirik tajam ke depan, tepat di mataku. Lalu tiba – tiba dia lenyap dalam kepulan asap. Bukan lenyap hilang di telan bumi, atau langit, atau matahari. Dia hanya meloncat bebas di kepalaku. Lalu berdiam diri di sana untuk sementara waktu.

Setiap hari nyeri sekali di kepala. Dia menggerutu tak lihat waktu. Setiap hari, setiap jam, tiap detik. Aku sudah melahap berbagai macam obat. Mulai dari Oskadon sampai puder 38. Tapi nyeri di kepala itu tak hilang, karena suara gerutunya tak pernah hilang juga. 

“Tak ada yang mau berteman denganmu, kamu sadar?” Katanya dengan suara terpatah – patah.
“Siapa bilang?” Jawabku sambil mencoba mencari dia di bagian kepala yang mana.
“Lihatlah, mereka bermain, belajar, berdiskusi bersama. Lalu kamu?”
“Salahkah, jika aku hanya berdiam diri di bangku paling belakang ini?”
“Hahaha, mereka membuangmu bagaikan sampah. Sadarlah, kamu tidak akan pernah dianggap sebagai teman!” Tawanya meledekku.
“....”
“Ayolah, ikuti aku. Aku itu sempurna dan bisa jadi teman bermain yang membuatmu senang.” Rayunya menggema dalam kepala.

Otakku sesak dengan perkataannya. Setiap hari selalu terngiang, ngiang, ngiang. Rayuan gombalnya itu yang justru membuatnya seindah bunga mawar. Dalam sadar atau tak sadar, aku mengikuti apa yang ia katakan dengan mulus. Seperti hatiku ini besi lalu miliknya magnet, selalu tarik menarik.

***

Sebenarnya, aku tak menyukainya. Sedangkan dia tak menyukaiku. Dia tak menyukai apa yang aku suka, dan menyukai apa yang tidak aku sukai. Dia meremukkan jari – jariku ketika aku memasukkan uang receh ke dalam kotak amal, dan meraung – raung seperti singa saat aku mengembalikan bolpoin temanku yang terjatuh di pojok pintu. Tapi dia tertawa terbahak – bahak ketika melihatku menyembunyikan sandal temanku saat mengaji. Atau juga saat aku menuruti saran – sarannya. Salah satu sarannya yang paling kuingat dan paling bagus, saat suatu pagi di sekolah. Satu jam penuh aku diceramahi guru BK soal seragamku yang kusut, amburadul dan gak karuan. Pada siangnya, guru BK yang sudah keriput itu lemas terkulai setelah muntah habis – habisan di kamar mandi. Tiga ekor cicak gemuk berenang bebas di dalam gelas besar berisi teh manis di mejanya. Tak seorang pun mencurigaiku. 

Aku sadar semua yang kulakukan parah binti sadis. Tapi entah mengapa kunikmati saja. Bahkan kubiarkan mengalir deras seperti air bah dari puncak gunung di musim hujan. Seperti ocehan burung – burung di depan rumah saat pagi cerah. Juga layaknya kegelapan saat malam. Aku benar – benar seperti manusia tanpa hati tanpa rasa. Terhipnotis oleh Si tanduk merah itu. 

Semakin hari, semakin menjadi – jadi. Dia makin seenaknya menyuruhku tentang ini itu, tentang semua yang tak kusukai dan semua yang dia sukai. Hampir setiap kali aku marah, tapi dia murka. Lagi – lagi mulutnya berkata apa yang tak ingin kudengar. Tentang teman, tentang aku yang diasingkan. Lalu ia membujukku dengan perkataannya yang sok romantis lagi. Aku luluh. Dan ujung – ujungnya dia membuatku gila akan perintah – perintahnya yang kurasa tak berperikemanusiaan. Tapi mengapa masih juga kujalankan?

***

Tak ada alasan yang spesial layaknya nasi goreng. Dia menjadi satu –satunya teman ketika aku sendiri. Walaupun dia hanya sesosok makhluk bertanduk merah, kehadirannya cukup meramaikan hidupku yang haus akan unsur – unsur keceriaan. Haus akan seorang papa berdasi yang pulang pergi saat matahari terbit sampai terbenam. Haus akan seorang mama berhak tinggi yang beramai – ramai menyetor duit di mal – mal dengan mama – mama berhak tinggi lainnya. Sedangkan mereka tak haus dengan seorang putri yang hanya duduk termenung sendiri, di kelas atau kadang di dalam kamar mandi. 

Sebagai teman tuggal setunggal – tunggalnya, dia termasuk baik, hanya saja bila aku menuruti apa yang dia sukai. Kadang – kadang muak juga bila harus menuruti rencana – rencananya. Kecuali saat aku nakal dengan guru BK tua bangka itu. Benar – benar puas rasanya. 

TO BE CONTINUED ...

















0 comments:

Posting Komentar